“Mana bisa dapat jodoh kalau cuma ditunggu!” seru Sarah tanpa peduli jika ada yang tersinggung mendengar kata-katanya.
“Pssttt...” Caca mengingat Sarah untuk mengecilkan suaranya. “Nanti Kak Bila dengar kak.”
Sarah yang memang tidak begitu menyukai cara-cara Bila justru malah semakin mengeraskan suaranya. “Siapa yang bakal datang kalau dia cuma tidur di rumah? Emang-nya dia pikir dia putri negeri dongeng?”
Caca menyesal menceritakan Bila pada Sarah. Ia tidak menyangka Sarah akan sekesal itu. Ia tak pernah suka perselisihan. “Eh kak gak boleh ngomong gitu.” Caca menenangkan, “Jodoh emang di tangan Tuhan kan?”
“Gak cuma jodoh, rezeki juga di tangan Tuhan kaleee.”
Caca belum mengerti kemana Sarah akan membawa pembicaraannya, “Terus?”
“Kalau kamu yakin rezeki di tangan Tuhan terus ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi?”
“Walaupun udah dijamin kan harus diusahain juga kak.”
“Nah, apa mungin Bila dapat jodohnya kalau nggak dia usahain?” kali ini suaranya agak keras. Caca berbalik untuk memastikan Bila tidak ada di sana. Oh iya bener juga.
Sebagai penghuni kos paling lama saat ini, Sarah sudah dianggap Caca dan Febi seperti kakak mereka sendiri. Sarah tidak pernah bicara soal apapun tanpa membuat keduanya terkesan.
Tidak seperti kebanyakan perempuan, Sarah tidak pernah takut ditinggal lelaki. Ia adalah perempuan yang paling mengerti tentang seluk-beluk mereka. Ia mengetahui isi kepala mereka, ketakutan mereka dan kelemahan mereka.
Pengetahuan dan kebijaksanaan Sarah itulah yang mengubah Caca dan Febi jadi dua perempuan paling popular dan paling dikejar di kampus. Beberapa perempuan yang tadinya cukup favorit seolah kehilangan pesona sejak Caca dan Febi tinggal dengan Sarah. Kini tak seorang laki-laki pun yang menggodai perempuan-perempuan itu seperti menggodai keduanya.
Karena begitu kehilangan, pernah suatu kali perempuan-perempuan itu berdandan habis-habisan dengan make-up super tebal berharap supaya bisa sekali saja menyaingi Caca dan Febi dalam merebut perhatian laki-laki. Tapi jika cahaya pesona mereka diibaratkan seperti lentera maka cahaya Caca seperti matahari sedangkan Febi seperti bulan. Mereka tak tersaingi.
Febi selalu mengira Sarah mengetahui semua itu karena ia kuliah di jurusan Psikologi tapi Caca tahu ada sesuatu yang membuat Sarah jadi seperti ini di masa lalu. Ia hanya belum tahu.
“Eh, kak aku mau cerita,” ujar Caca yang baru teringat.
“Tentang Farhan kan?” tebak Sarah.
“Lho kok kakak tahu?”
“Tadi sore kakak ketemu Febi sama cowok barunya di mall. Dia cerita.”
Saat itu Caca tahu kemana Febi dibawa Aryo setelah mereka berdua keluar dari perpustakaan siang itu. “Jadi Febi udah tahu nama cowok itu sejak awal?”
“Febi juga bilang kalau dia ketua LDK.”
Semakin yakinlah Caca kalau Febi memang sedang mengerjainya, “Awas tuh anak kalau pulang nanti.”
Sarah tertawa, “jadi gimana susah nggak?”
“Lumayan lah. Dingin banget kak, lebih dingin dari es. Aku masih maklum waktu dia gak peduliin aku di awal tapi masa dia gak nyambut waktu aku udah mulai duluan.”
“Hahaha,” Sarah tertawa sekali lagi. “Baru kali ini kakak dengar Caca dikacangin cowok. Apa mungkin dia gak normal Ca?” candanya.
“Gak tahu deh kak. Jadi menurut kakak sebaiknya aku lanjutin nggak nih?”
“Lanjut aja deh Ca,” ujar Sarah. “Kakak pengen tahu bener gak sih anak-anak berjenggot itu sesuci apa yang mereka ceramahin.”
“OK deh kak. Aku bakal buktiin sama kakak gak ada laki-laki di dunia ini yang gak bisa aku taklukin.”
“Mantap! Itu baru adik kakak tapi awas suka beneran lho Ca! Kakak duluan ya.” Sarah pun mengambil tasnya dan masuk.
Lanjut ke Bagian 7 - Senjata Makan Tuan
Bagikan via:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar