cerpen ini sambungan dari Melihat Masa Depan (part 1)
DUA TAHUN BERLALU
Sebuah berita di televisi mengejutkanku. Bukan karena beritanya tapi seseorang yang diberitakan. Itu Diana! Diana masuk TV. Dia menghadiri sebuah pameran busana besar di Tiongkok dan duduk bersama beberapa perancang busana terkenal dunia. Bagaimana dia bisa ada di situ ya?
“Halo Duan?”
“Iya Di. Ada apa lagi?”
“Kamu lihat TV 9?”
“Ada apa?”
“Diana masuk TV.”
“Oh, iya aku tahu. Aku bersamanya di Tiongkok sekarang ini. Dia pakai gaun hijau biru kan?”
“Kamu kok gak cerita-cerita mau ikut dia kesana?”
“Wong aku sendiri aja diajak. Aku pikir kamu diajak juga. Jadi gimana rencana kita 8 tahun lagi Pak Pres?”
“Santai aja, aku gak akan beralih pada orang lain. Kalau aku diusung jadi Presiden nanti, kamu tetep bakal kupilih jadi wakilnya.”
“Tapi pasukanku lebih banyak lho! Kamu aja yang jadi wakilnya ya.” Kata Riduan menggodaku.
“Hahaha, ada-ada saja kamu ini. Takdir telah ditentukan, aku presiden kamu wakilnya.”
“Yaudah, oleh-oleh buatmu gantungan kunci aja ya.”
LIMA TAHUN BERLALU
Aku tak percaya aku hadir disini. Bukan karena aku hadir di pesta pernikahan termegah abad ini, tapi karena aku tak percaya. Ternyata Diana menikah dengan Riduan! Ya ampun.. masa depan macam apa ini? Sahabat jadi cinta? Seperti lagu lawas aja. Karena tak tahan dengan semua fakta menggelikan ini, aku langsung naik ke pelaminan untuk menyalami mereka berdua.
“Jadi dia ini pangeran idamanmu?”
“Hehe, dulu bukan, tapi sekarang iyaaa..” jawabnya sambil memeluk Riduan gemas.
“Apa sih rahasianya Duan?”
“Kau bisa mendapatkan apapun jika kamu berusaha Di. Aku sendiri berusaha mati-matian untuk memenuhi kriteria si Diana ini. Walau tak mudah tapi akhirnya sekarang aku jadi hafiz 30 juz haha.”
“Selamat deh buat happy ending kalian.”
“Oh iya jangan lupa, seminggu lagi kamu hadir juga dipelantikan pengurus nasional partaiku ya.”
“Kamu jadi kabid apa?”
“Ketua umumnya dong.”
SEMBILAN TAHUN BERLALU
Dan kalian harus tahu, sekarang ini sudah hampir sepuluh tahun sejak aku melihat masa depanku. Dan sepertinya belum terjadi apapun yang signifikan dalam kehidupanku. Murid les privatku tambah banyak, tapi tak satu pun dari orang tua mereka merupakan pejabat tinggi. Satu-satunya pejabat dan tokoh nasional yang kukenal cuma calon wakil presidenku si Riduan. Kira-kira dari jalan macam apa Tuhan akan menjadikanku presiden ya?
SATU HARI MENJELANG HARINYA
Aku gilaaa... besok adalah harinya dan aku masih belum punya apa-apa untuk ditunjukkan pada diriku di masa lalu. Sebaiknya aku telpon Riduan.
“Halo Riduan?”
“Ya Ardi? Lo kemana aja? Udah setahun gak pernah nelpon lagi.”
“Aku butuh bantuan. Bisa gak pinjamin aku jas, mobil dan pasukan partaimu?”
“Gak bisa, aku lagi rapat. Emang buat apa?”
“Aduuhhh, kamu rapat apa? Ada deh, pokoknya penting. Boleh ya?”
“Lagi rapat sama kabinet lah. Kalau mau kamu pakai aja pasukan kepresidenan.”
“OK lah sip. Makasi ya... Eh tunggu dulu? Kamu udah jadi wakil presiden ya?”
“Bukan wakil, aku presidennya kalee... Makanya aku tanya, kemana aja lo setahun ini?”
“Astaga! Yaudah aku cabut dulu ya!”
Yaampun, aku tak sadar, ternyata selama ini aku terlena. Bisa malu aku kalau Ardi 10 tahun lalu aku masih kere begini. Aku harus cepat-cepat.
Dan tak terasa sudah esok hari, persiapanku hampir selesai. Aha, itu dia ibuk-ibuk jamunya! “HEI BUK! JAMU!!”
“Mau pesan jamu apa dek?”
“Bukan buk, nanti saya akan lewat pakai arak-arakan mobil presiden disini setengah jam lagi. Nanti kalau ada orang nanya, itu siapa, ibuk jawab aja presiden ya.”
“Berarti bukan mau beli jamu?”
“Bukan buk..”
“Kalau gitu bayar dong.”
“Adduhhh ibuk ini... Nih, 2 dirham cukup kan. Pokoknya kalau saya lewat naik arak-arakan mobil kepresidenan, kalau ada yang nanya, tugas ibuk cuma bilang, Itu presiden.”
“Itu mah namanya boong dek..”
“Udah la buk.. yang penting saya gak malu.”
“OK lah, tapi coba ulangi lagi apa tadi tugasnya.”
TAMAT
Bagikan via:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar