Prolog - Cerita Caca

Kamis, 13 Juni 2013


Pagi ini, halaman biro rektor terlihat asri sekali. Suara kicauan burung yang bertengger di pohon-pohonnya juga terdengar begitu merdu. Saat berjalan melintasinya, tercium olehku aroma segar rumput yang basah oleh embun. Benar kata temanku, segalanya terasa lebih indah bagi yang sudah mengerjakan skripsi dan lulus sidang munaqasyah.


Menyadari perpisahanku dengan kampus terbaik di kota Medan ini tidak lama lagi, aku pergi ke kantin kampus memesan jus kesukaanku saat masih aktif kuliah. Masih sulit bagiku untuk percaya bahwa sebentar lagi aku akan wisuda dan menjadi seorang sarjana.

Jus pesananku baru diantar ketika aku mendengar suara seseorang memanggilku dari meja sebelah. “Bang!”

Aku menoleh dan menemukan seorang mahasiswi berambut panjang dengan pita hitam di lehernya duduk di meja sebelah. Melihat cara perempuan ini berpakaian, aku mengira ia mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum. Tapi tidak pernah sekalipun aku bertemu perempuan ini sebelumnya jadi aku bertanya, “siapa ya?” 

“Saya mahasiswi kampus sebelah, pembaca blog abang.” katanya.

Oh ternyata pembaca blog. Jarang sekali ada pembaca blog yang mengenaliku. Kalaupun ada yang mengenali, hanya sedikit di antara mereka yang mau menyapa seperti perempuan ini.

“Jarang-jarang seorang penulis bisa ketemu pembaca tulisannya secara langsung. Ada perlu apa di sini?”
“Ada yang perlu saya tanya. Abang keberatan nggak kalau saya minta waktunya sebentar?” tanya perempuan itu.

Aku berpikir sejenak. Walaupun larangan berduaan sudah dicabut oleh rektor ketika kampus ini berubah jadi universitas dua tahun lalu, aku tetap merasa kurang nyaman duduk berdua dengan seorang perempuan asing di kampus ini. Aku bertanya memastikan, “sebentar saja kan?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, perempuan itu langsung duduk di depanku dan mulai bercerita. Ia bercerita padaku bagaimana hubungannya dengan seorang lelaki bermula, bagaimana hubungan itu berakhir dan bertanya apa yang harus ia lakukan. Aku pun minta waktu untuk berpikir.

Sekilas perempuan itu tampak seperti korban dalam ceritanya. Tapi jelas bagiku kalau semua yang terjadi adalah akibat perbuatannya sendiri. Aku bertanya pada diriku sendiri bagaimana cara terbaik membuat perempuan ini menyadari kesalahannya.

Tiba-tiba ponselku berbunyi dan sebuah pesan masuk.

Assalamualaikum wr wb. Dengan hormat saya mengundang teman-teman sekalian untuk hadir di akad dan resepsi pernikahan saya dan Farhan yang akan diadakan di Aula UIN Sumatera Utara besok 1 Januari 2017 dari pukul 10.00 s/d pukul 18.00 WIB. Atas perhatian dan kehadiran teman-teman saya ucapkan terima kasih.

Pesan singkat itu sungguh mengejutkanku. Farhan adalah sepupuku sedangkan perempuan yang akan ia nikahi adalah teman baikku. Aku benar-benar tidak menyangka akhirnya mereka akan menikah.
Pesan singkat itu mengingatkanku pada cerita cinta mereka yang sungguh tidak biasa. Sebuah cerita yang aku yakin akan membuat kagum siapapun yang menyaksikannya dan menghibur hati siapapun yang mendengarnya. Eh tunggu dulu, aku punya ide!

Aku bertanya pada perempuan itu, “maukah kamu kuceritakan sebuah kisah yang di dalamnya terkandung pelajaran sekaligus jawaban atas apa yang kamu tanyakan?”

Perempuan itu mengangguk seraya mengusap air mata dari pipinya. Aku pun bertanya lagi, “kamu tahu di kampus ini ada seorang gadis yang biasa dipanggil Caca?”

“Aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung,” kata perempuan itu, “tapi kata temanku yang kuliah di sini Caca gadis yang sangat cantik.”

“Caca lebih dari sekadar cantik,” tambahku. “Jika di dunia ini ada seorang gadis yang tak seorang laki-laki pun tahan dengan pesonanya maka Caca pastilah orangnya. Ia seperti menebarkan aroma penasaran yang luar biasa pada setiap laki-laki yang melihatnya.”

“Entah bagaimana, sepertinya selalu ada senyum di sudut bibir mungilnya. Aku juga tak begitu pandai menjelaskan kecantikannya tapi seandainya kamu bertanya pada orang yang pernah melihatnya, dia pasti akan mengatakan sesuatu seperti, ‘bidadari telah turun dari surga’ ‘aku pasti bermimpi’ atau ungkapan-ungkapan yang lebih dari itu saat menjelaskannya.”

“Kamu tidak akan tahu bagian mana yang paling kamu suka darinya. Apakah tinggi badannya yang semampai atau wajahnya yang memancarkan cahaya? Apakah matanya yang hitam atau bibirnya yang merah delima? Apakah alisnya yang melengkung atau rambutnya yang lembut? Apakah parasnya yang memesona atau perilakunya yang anggun?”

Dari matanya jelas sekali kalau perempuan itu telah jadi penasaran. Mungkin dalam hati ia bertanya-tanya apa yang membuat Caca begitu cantik tapi ia tidak ingin bertanya secara langsung. “Jadi, bagaimana ceritanya?”

“Semua dimulai tiga bulan yang lalu.”

Lanjut ke bagian 1 - Yang Tercantik
Bagikan via:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar