Senin, 5 September 2016
Kantin kampus selalu ramai seperti biasa. Suara denting sendok dan garpu di atas piring terdengar bersamaan dengan puluhan obrolan mahasiswa dan dosen yang sedang duduk makan siang bersama teman mereka masing-masing di sana.
Caca menyukai kantin itu karena smoothiesnya. Sedangkan Febi lebih tertarik karena perhatian yang ia dapatkan saat melangkah masuk ke dalamnya.
Febi tahu kalau dirinya sendirilah yang sebenarnya sedang diperhatikan oleh beberapa laki-laki di kantin itu tapi ia malah berseru, “Ca, coba lihat ke belakang deh! Tiga laki-laki di meja dekat jendela itu kayaknya lagi ngeliatin kamu deh!”
Walaupun tidak secantik sahabat yang sudah menjadi teman sekelasnya sejak masih di bangku SMK dulu, kecerdasan alami Febi dalam gaya dan penampilan membuatnya jadi satu dari perempuan yang paling banyak didekati laki-laki di kampus.
Berbeda dengan Caca lebih suka tampil sederhana, Febi adalah jenis perempuan yang hobi menghabiskan waktu di depan cermin hanya untuk memastikan penampilannya tetap sempurna setiap saat. Berbeda dengan Caca yang cenderung terkesan pemalu, Febi adalah jenis perempuan yang suka bercanda dan menggoda laki-laki manapun yang ia rasa cukup menarik. Perbedaan itulah kiranya yang menjadikan persahabatan mereka tetap awet hingga sekarang.
Caca mengenal sahabatnya dengan sangat baik. Itu sebabnya ia tahu kalau saat itu Febi hanya sedang menghindar. “Jangan mengalihkan pembicaraan deh Feb! Ayo jawab! Udah berapa lama kamu kenal sama si Aryo ini?” tanya Caca menginterogasi sahabatnya.
Febi yang tak bisa mengelak lagi akhirnya hanya bisa tertawa cengengesan, “Baru dua minggu sih.” Ia tahu Caca tidak akan senang mendengar jawabannya.
“Apa!?” pekik Caca cukup keras.
Seisi kantin kini memperhatikan tapi Caca tak peduli. Ia lebih suka begitu ketimbang harus membiarkan Febi berkenalan dengan seorang laki-laki lagi dan pada akhirnya sakit hati lagi.
“Tapi Aryo ini gak kayak mantan-mantanku sebelumnya lho Ca! Dia baik!”
“Kamu gak ingat gimana cara kamu menjelaskan betapa baiknya Raka sebelum ini?”
“Itu kan beda Ca!” ujar Febi hampir kehabisan kata untuk membela diri. “Emangnya salah kalau aku mau cari pengganti Raka?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Caca tidak pernah tahan jika sahabatnya sudah menatapnya seperti itu. Nada bicaranya pun melembut, “Aku cuma gak mau kamu kenapa-kenapa Feb.”
Besarnya perhatian inilah yang sering kali membuat Febi yang manja merasa Caca seperti kakaknya sendiri. Walaupun semua perhatian itu terkadang membuatnya kesal, Febi tahu tidak ada orang lain di dunia ini yang akan memperhatikannya lebih dari Caca.
“Aku gak akan kenapa-kenapa kok Ca! Kan ada kamu.”
Caca menyerah. “Esnya udah mau mencair, kita minum aja dulu yuk!” katanya, meraih smoothies dinginnya yang masih penuh.
Caca tak bisa berhenti tertawa saat melihat pelayan yang digoda Febi salah tingkah dan menabrak tiang. Tingkah lucu Febi dan segelas smoothies segar memang selalu berhasil membuat suasana hati kembali membaik.
“Eh Feb, aku baru nyadar. Sepatu kamu baru ya?” tanya Caca.
“Iya bagus kan? Ini dibeliin gebetan baruku semalam.”
“Bagus sih tapi gak kayak gaya kamu biasanya.”
“Aku lagi mau coba gaya baru aja. It’s okay to be different!”
“Kalau gitu besok aku pinjam ya,” pinta Caca tak segan.
“Kenapa kamu gak minta beliin juga aja sama bang Hadi?”
“Aku baru putus Feb,” jawab Caca dengan nada datar.
“What? Again?” seru Febi kaget.
Sekarang Caca mengerti betapa malunya Febi saat tadi ia memekik dengan suara yang sama kerasnya. Ia pun coba menenangkan tapi Febi keburu bertanya, “sebenarnya kamu cari cowok yang kayak gimana sih Ca?”
Jika tadi giliran Caca menghakimi Febi maka sekarang giliran Febi menghakimi Caca. “Bang Hadi kurang menantang Feb,” jawab Caca membela diri.
“Kurang menantang gimana maksud kamu?”
“Kamu kan tahu aku selalu cari tantangan. Aku mau laki-laki yang gak mempan digoda Feb.”
“Hmm... Kamu mau menggoda yang gak bisa digoda?”
“Ada?” tanya Caca semangat.
“Ikut aku.” .
Lanjut ke bagian 2 - Yang Bikin Penasaran
Bagikan via:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar