Cerpen - Najib Pilih Mati

Minggu, 03 Januari 2016

“Sore semakin mendung saja, maghrib satu jam lagi,” pikirnya, “kenapa Sinta belum pulang juga ya?” Kekhawatiran tak henti-hentinya memunculkan pertanyaan di pikiran Najib.Sibuk dia bolak-balik di lantai menunggu putri tunggalnya pulang sekolah. Pasalnya malam itu Najib dan keluarga kecilnya akan pergi merayakan ulang tahun anaknya di restoran mahal.

Adapun ini semua karena janjinya sendiri. Entahlah kalau memang Sinta kesepian sampai butuh perhatian lebih dari kedua orang tuanya tapi putrinya ini memang terlalu manja, bahkan untuk ukuran anak manja sekalipun. Najib tak peduli apakah caranya mendidik anak terlalu memanjakan atau lembek. Baginya sang putri tak boleh menderita sekecilnya pun. Inilah mengapa gajinya tak pernah bersisa di akhir bulan oleh permintaan-permintaan putrinya yang tidak boleh tidak. Walaupun awalnya permintaannya sederhana saja seiring tumbuhnya sang putri, permintaan-permintaan ini mulai terasa agak memberatkan.

Sepuluh menit berlalu Sinta belum juga pulang.Cemasnya menjadi-jadi. Waktu ditanya, istrinya yang sedang berdandan hanya menjawab setengah peduli saja, seakan-akan putri tunggal yang pulang kesorean bukan masalah besar. Najib geleng-geleng saja sambil berpaling, inilah akibatnya kalau perempuan dikasih kerja bukannya di rumah mengurus anak pikirnya. Tapi apalah mau dikata, gajinya kecil, maklumlah pegawai negeri rendahan. Mereka sekeluarga tak mungkin hanya mengharapkan gaji si ayah saja dengan semua permintaan putri manjanya.

Angin semakin kencang, hujan sebentar lagi turun, Najib hanya duduk diam di ruang tamunya bersama kado ulang tahun anaknya di tangan. Hembusan dingin masuk dari sela pintu yang setengah terbuka langsung ke wajah Najib. Sebentar lagi hujan turun, tapi putrinya belum pulang juga. Ada apa gerangan dengan putri terkasihnya sampai ponselnya tak bisa dihubungi. “Ah sudahlah mungkin cuma terlambat, atau sedang berteduh saja,” pikirnya menenangkan diri.

Petir menyambar dengan keras saat sesosok bayangan hitam tinggi besar muncul di depan pintu. Kaget, Najib sontak berdiri dan bertanya-tanya siapa gerangan yang tingginya melebihi pintu rumahnya. Sesaat kemudian Najib sadar tamunya adalah tamu semua yang bernyawa tapi dia terlalu kaget untuk memanggil istrinya di kamar. Tangan kakinya gemetar hebat sementara sosok itu perlahan mendekat.

Sosok itu baru sampai tepat di depan Najib dan belum melakukan apa-apa tapi nafas Najib sudah tersengal-sengal seperti mau mati. Mereka begitu dekat hingga Najib tak bisa melihat apa-apa kecuali hitam dada sosok itu yang lebar. Najib menoleh keatas ingin melihat wajah sosok hitam tinggi besar yang sudah begitu dekat itu, tapi diatas dia hanya melihat ruang kosong tak berhingga, kehampaan.

“Waktumu telah tiba Najib!” sosok itu berbicara dalam cara yang tak dimengerti.
“Jangan! Jangan sekarang! Putriku belum pulang, tak bisakah menunggunya sebentar saja?” Najib sudah bisa menguasai dirinya lagi.
"Aku hanya menjalankan tugas. Tugasku tak bisa dimajukan atau dimundurkan.”
"Tapi ini hari ulang tahun putriku!” balasnya sengit.
“Segala yang bernapas pasti akan merasakan mati. Tuhan punya rencana lain.”

Dia mulai menangis bukan tak cukup amalnya, dia hanya ingin putrinya, putri tunggalnya tahu dia ayah yang baik. Bukan keinginan berlebihan untuk dimiliki seorang ayah. Gemuruh dalam hatinya semakin kuat, air matanya mengalir tak terbendung dan menetes dari hidungnya. Tersedu-sedu, ia berkata,
“Tuhan…” dia terisak, menarik napas dalam, “kenapa kau lakukan ini padaku?”

Terdiam sosok hitam tinggi besar. Sosok itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata tapi jelas sebagai suruhan dia tidak senang dengan apa yang didengarnya.
“Apa Kau mau putriku jadi yatim padahal dia tiada punya saudara?”
Najib semakin terisak, dia tak tahu sosok di depannya mulai marah.
“Dimana Keadilanmu jika Kau memanggilku sebelum aku memberikan kado ini padanya?”

Sosok hitam tinggi besar itu mengamuk, Najib belum sempat melihat tangan sosok hitam tinggi besar terayun itu saat sebuah tamparan keras sekali mendarat di pipinya. Ada sensasi seperti petir menyambar di pipi kanannya, dia terlempar jatuh ke tempat tidurnya. Matanya tertutup rapat sekali, dari raut wajahnya tamparan ghaib itu pasti sakit sekali. Dia terkapar entah tidur pingsan atau mati.

***

“Pa..” sayup-sayup suara istrinya terdengar membangunkan Najib, “Papa ingatkan hari ulang tahun putri kita tinggal dua hari lagi?”
Suara kokokan ayam di halaman belakang membantunya bangun tersadar sepenuhnya. Najib baru mencerna kata-kata istrinya barusan.
“Ah masak iya?” katanya terbelalak.
“Jangan bilang kamu lupa tanggal ulang tahunnya lagi Pa.”
“Wah, aku belum memesan kadonya!”
“Kalau begitu pesanlah sepulang kerja nanti. Kamu tak mau kejadiannya seperti tahun lalu kan?”

Najib menggeleng tanpa suara. Dia paling tidak suka mengingat-ingat kejadian di hari ulang tahun putrinya tahun lalu. Waktu itu dia menyiapkan pesta kecil untuk putrinya dan lima atau enam orang temannya. Hanya sebuah pesta kecil sederhana yang biasa. Dia sudah berusaha pulang lebih awal tapi tetap juga terlambat.

Putri kecilnya sudah bosan menunggu waktu Najib tiba di rumah. Lilin ditiup, kue pun dipotong, tiba waktunya membuka kado. Putri membuka kado pertama yang berasal dari teman sebangkunya, ternyata isinya satu set alat mewarnai yang lengkap dan bagus-bagus. Kado kedua dari temannya juga berisi kaos bergambar kelinci lucu diatas kue ulang tahun strawberry yang juga bagus. Kado ketiga, keempat dan berikutnya berisi barang-barang yang tak kalah bagus, bahkan ada yang memberi boneka beruang yang sudah diinginkannya sejak lama.

Terakhir adalah kado dari ayah dan ibunya, mereka tentu tak menyangka putrinya akan sekecewa itu, kado itu tentu cukup bagus jika tidak dibandingkan dengan hadiah dari teman-temannya tentunya. Putrinya kaget saat mengeluarkan bingkai foto bertulisan I luv mom & dad di dalamnya. Beberapa orang tua yang hadir di pesta kecil itu simpatik melihatnya, tapi tidak dengan anak-anak. Mereka yang semula bertepuk tangan semakin keras tiap satu kado dibuka malah diam saja. Putrinya memang berharap terlalu banyak. Seandainya dia lebih mengerti keadaan orang tuanya dia tak akan merajuk sehebat itu.

Najib berangkat dengan mobil tuanya. Disangkanya bisa juga dia ganti mobil tahun ini kalau bukan karena putrinya berulang tahun tiap tahunnya. Tapi apalah yang tak diperbuat Najib untuk putri tunggalnya. Lebih indah senyum putrinya menurutnya dibanding kemewahan hidup yang memabukkan.

Sesampainya di kantor tak henti-hentinya dia mengulang di dalam hati “Kalung putriku.. Kalung putriku..” Kalungnya harus dipesan hari ini agar bisa diambil besok. Biasanya butuh sekitar tiga hari untuk mengerjakan kalung perak dengan nama. Tapi mudah-mudahan bisa dipercepat dengan menambah sedikit biaya pikirnya.

Tanpa hambatan sepulang kerja Najib berhasil membuat pemilik toko berjanji kalung perak putrinya selesai besok pagi. Najib tak sabar menunggu hari ulang tahun putrinya.

***

Dua hari pun tak terasa berlalu dengan cepat. Kalung Sinta sudah di tangan Najib sejak kemarin. Pagi ini pun Sinta sudah merengek-rengek ingin tahu hadiahnya. Najib berkali-kali hampir membocorkannya. Kalau bukan karena istrinya menahan dan mengantarkannya sekolah mungkin tak bisa juga Najib menahan kado itu hingga malam.

Waktu berlalu lambat sekali tapi setelah penungguan panjang, hari itu pun hampir habis juga. Matahari sudah tinggi di balik awan hitam tebal waktu Najib di jalan pulang. Ada rasa geli yang tak biasa dalam hatinya, sepertinya dia sudah pernah saja melakukannya.

Istrinya pun pulang dan segera bersiap-siap. Najib kini terkantuk-kantuk tengah menunggu Sinta putrinya tercinta pulang. Sepuluh menit berlalu Sinta belum juga pulang.Cemasnya menjadi-jadi. Waktu ditanya, istrinya yang sedang berdandan hanya menjawab setengah peduli saja, seakan-akan putri tunggal yang pulang kesorean bukan masalah besar. Najib geleng-geleng saja sambil berpaling, inilah akibatnya kalau perempuan dikasih kerja bukannya di rumah mengurus anak pikirnya.

Angin semakin kencang, hujan sebentar lagi turun, Najib hanya duduk diam di ruang tamunya bersama kado ulang tahun anaknya di tangan. Hembusan dingin masuk dari sela pintu yang setengah terbuka langsung ke wajah Najib. Sebentar lagi hujan turun, tapi putrinya belum pulang juga. Ada apa gerangan dengan putri terkasihnya sampai ponselnya tak bisa dihubungi. “Ah sudahlah mungkin cuma terlambat, atau sedang berteduh saja,” pikirnya menenangkan diri.

Akhirnya dari balik pintu depan putrinya muncul dengan nafas terengah-engah dan baju sekolah basah kuyub.
“Ayah! Kapan kita berangkat?”
“Eh, kamu udah pulang?” Najib buru-buru menyembunyikan kadonya kembali. “Ayah kira kamu berteduh. Kamu mau langsung berangkat? Apa nggak capek?”
“Nggak koq, ayo buruan yah!”

Najib yang tak pernah, tak bisa dan tak pernah bisa menolak permintaan putrinya mengiyakan. Sinta bersiap-siap dan mereka langsung berangkat ke restoran mereka.

Mereka pun berjalan. Di mobil udara terasa sangat dingin. Dari pohon Najib tahu angin di luar sangat kencang, sebentar lagi pasti hujan deras.

Hujan pun turun kian derasnya. Bersama hawa dingin kantuk pun datang. Tapi aku tak boleh tidur, pikir Najib. Disempatkannya mengintip putrinya dari spion tengah, ternyata udara kabin mobil yang semakin dingin menidurkannya di pangkuan istrinya yang juga sudah terlayang. Najib berjuang melawan hujan, dingin dan kantuk di jalanan sendirian. Sebenarnya matanya tak mengizinkan untuk berjalan dalam hujan begini tapi apalah yang tak dilakukannya untuk putrinya tersayang. Sekejap saja dia teringat pada putrinya seketika itulah hilang kantuk dan lelah matanya.

Sebuah Accord hitam memotong cepat dari kiri tepat setelah gerbang tol Cipularang. Cipratan airnya yang coklat melompat membasahi kaca depan Avanza abu-abu mereka. “Accord sial, dasar mobil mewah, ” pikirnya, “kira-kira berapa harganya ya? Pasti lebih dari 300 juta. Gimana seandainya aku istriku dan putriku naik mobil itu ya?” ………

Nguoooo… sekali lagi mobil menyalip dari kiri diikuti klakson keras yang panjang, kali ini bukan salah mereka. Mobil mereka sudah hampir jatuh ke tepi jalan beberapa kali, rupanya kantuk sempat mengalahkannya tadi. Najib berusaha menjernihkan pandangannya, tapi pelan-pelan kembali kabur. Ditegakkannya kepala, tarik napas, lebarkan pandangan tapi toh tertunduk-tunduk lagi.

***

Najib terbangun lagi tapi dengan suasana berbeda. Keningnya sudah menempel di kemudi mobilnya. Bercak darah membekas di gagang kemudinya. Mobil mereka kecelakaan. Sudah ada tiga orang yang mengaku mahasiswa kedokteran datang dan menolong. Dia teringat tadi baru jatuh dari jalan, dipikirnya itu hanya mimpi. Ternyata tidak.

Seberkas cahaya jingga sore yang muncul di balik awan hujan yang telah reda menyadarkannya. “Mana Sinta?”

Najib mencoba menolehkan kepalanya, tapi sekeras apapun mencoba dia tetap gagal. Pasti ada tulang lehernya yang terkilir. Lalu diarahkannya pandangannya pada petugas yang membawa tandunya. “Putriku?”

Tak seperti yang diharapkan si petugas malah hanya menggeleng kecil sambil tertunduk dengan mata terpejam, “Maaf pak,”

Hanya kepedihan yang ada disana sekarang. Matahari sore semakin rendah, air mata Najib menyesak keluar. Putri dan istrinya pergi bersama sore.

Wajahnya biut, teremas. Bagai air bah tak tertahan lagi dia berteriak tapi suaranya tak keluar “Tuhan! Kenapa Engkau panggil keluarga hamba semuanya? Kenapa Engkau tak membiarkan hamba memberikan kado ini padanya? Dimana keadilan-Mu? Kenapa bukan hamba saja yang Engkau panggil lebih dulu?”

Suatu kilatan muncul dari langit, seperti menjawab teriakan Najib. Hanya sekejap, Najib belum sempat melihatnya. Tapi sepertinya itulah jawaban pertanyaannya.

***

Sebuah tamparan keras itu mulai terasa membengkak di pipinya. Perlahan kesakitan itu membangunkannya. “Itu semua mimpi?” tanyanya pada sosok hitam itu. Tapi belum sempat dijawab Najib sadar sendiri “Tidak, itu nyata, tapi belum terjadi.” Sosok itu hanya mengangguk.

Sambil mengumpulkan lagi tenaganya Najib berdiri. Kemudian ditanya dia sosok hitam tinggi besar, hanya saja kali ini suaranya lebih teduh, “gimana sudah siap?” Sekarang Najib bisa melihat mata si sosok hitam tinggi besar. Dan matanya berkata “Waktu kembali untukmu. Ini permintaanmu.” Najib akhirnya mengerti.

“Ayo.” kata si Najib mantap.
Bagikan via:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar