Caca tidak bisa berhenti memikirkan strateginya yang senjata makan tuan tadi siang. Ia masih terlalu frustasi untuk bergabung dengan Febi dan Sarah yang sedang ngobrol di ruang tengah sore itu. Ia hanya berbaring di atas tempat tidur sambil diam-diam mendengarkan obrolan mereka dari balik dinding kamarnya.
“Kakak masih ingat cowok yang pinnya kakak kasih ke aku dua minggu lalu?” suara Febi terdengar dari ruang tengah.
“Bimo kan? Kenapa?”
“Ternyata dia anak remaja masjid lho kak!”
“Terus?” tanya Sarah seolah itu bukan masalah.
“Kakak coba pikir aja! Gimana cara ngedeketin anak remaja masjid kayak dia?” tantang Febi.
Ekspresi wajah Sarah langsung berubah kesal mendengar alasan Febi itu. “Astaga Feb!” Sarah menanggapinya seolah itu adalah kata-kata tergila yang pernah Febi ucapkan. “Kamu udah tinggal sama kakak berapa lama sih? Mau anak clubbing kek, mau remaja masjid kek, mereka tetep aja laki-laki Feb!” seru Sarah.
“Tapi perempuan macam apa yang tega mengganggu laki-laki alim kayak gitu kak?” tanya Febi lagi tak mau kalah.
“Mana kakak tahu! Tanya aja sama Siti Hawa!”
Caca yang sejak tadi mendengarkan Sarah terhenyak. Kak Sarah memang hebat.
Caca selalu kagum pada kakak kosnya itu. Belum Ia pernah melihat Sarah susah gara-gara cowok atau sedih karena masalah kuliahnya. Sarah tak pernah tampak memiliki masalah. Jika ia bukan seseorang yang benar-benar bebas dari masalah pastilah ia orang yang sangat pintar menyembunyikan perasaannya.
Caca yang tiba-tiba jadi bersemangat melompat ke tengah-tengah kedua sahabatnya. “Lagi pada ngobrolin apaan nih?” tanyanya.
“Dari tadi kamu di rumah Ca?” tanya Febi tak menjawab pertanyaan Caca.
“Gimana perburuan kamu tadi siang Ca? Jadi?” tanya Sarah pula.
Caca menjawab pertanyaan keduanya dengan sebuah anggukan. Ia baru akan cerita ketika Febi bertanya lagi, “Perburuan apa kak? Kok Febi gak tahu? Kalian punya rahasia ya?”
“Nggak Feb,” jawab Caca, “ini tentang Bang Farhan lho!”
“Oh, belum selesai-selesai juga? Lama juga ya!” ujar Febi setengah mengejek.
“Emang kamu pikir tiga hari cukup untuk ngajak anak masjid kayak Bang Farhan candle light?” kata Caca membela diri.
“Iya, udah, udah...” kata Sarah melerai keduanya. “Jadi gimana tadi siang? Ada kemajuan gak?”
Caca menggeleng. Ia menceritakan bagaimana usahanya membuat Farhan terpesona berakhir dengan kegagalan. Ia juga menjelaskan betapa mustahilnya Farhan untuk dibuat terpesona.
“Kayaknya Bang Farhan emang gak bisa digoda deh kak,” adu Caca pada Sarah.
“Kalian berdua sama aja ya! Berapa kali sih harus kakak jelasin? Semua laki-laki itu sama.”
“OK! OK! Aku paham kak tapi buat apa aku capek-capek godain dia? Febi juga gak ngasi apa-apa kalau aku berhasil.”
“Kamu mau taruhan?” tanya Febi. “Kalau kamu bisa dapatin Bang Farhan, aku bakal kerjain semua tugas kuliah kamu selama satu tahun. Tapi kalau kamu gagal, kamu harus ngerjain semua tugasku, satu semester aja. Gimana?”
“Kamu yakin? Aku gak bakal kalah lho Feb. Aku gak pernah kalah,” tanya Caca memastikan.
“Jadi kenapa kamu takut?” tantang Febi.
“Siapa takut! Deal?” Caca mengajukan tangannya lebih dulu.
Sejenak Febi terdiam memikirkan sebanyak apa tugas yang harus Caca kerjakan nanti dan ia segera mengulurkan tangannya, “Deal!” jawab Febi mantap.
“Nah! Sekarang kamu udah punya alasan. Jadi tunggu apa lagi?” tanya Sarah.
Caca mengangguk. Ia tidak tahu seberapa besar taruhan yang ia lakukan sore itu akan berakibat. Ia hanya tahu kalau sekarang ia tak punya alasan untuk mundur. Setelah obrolan mereka selesai, Caca kembali ke kamarnya dan memikirkan sebuah cara lain dan ia yakin yang satu ini pasti akan berhasil.
“Kakak masih ingat cowok yang pinnya kakak kasih ke aku dua minggu lalu?” suara Febi terdengar dari ruang tengah.
“Bimo kan? Kenapa?”
“Ternyata dia anak remaja masjid lho kak!”
“Terus?” tanya Sarah seolah itu bukan masalah.
“Kakak coba pikir aja! Gimana cara ngedeketin anak remaja masjid kayak dia?” tantang Febi.
Ekspresi wajah Sarah langsung berubah kesal mendengar alasan Febi itu. “Astaga Feb!” Sarah menanggapinya seolah itu adalah kata-kata tergila yang pernah Febi ucapkan. “Kamu udah tinggal sama kakak berapa lama sih? Mau anak clubbing kek, mau remaja masjid kek, mereka tetep aja laki-laki Feb!” seru Sarah.
“Tapi perempuan macam apa yang tega mengganggu laki-laki alim kayak gitu kak?” tanya Febi lagi tak mau kalah.
“Mana kakak tahu! Tanya aja sama Siti Hawa!”
Caca yang sejak tadi mendengarkan Sarah terhenyak. Kak Sarah memang hebat.
Caca selalu kagum pada kakak kosnya itu. Belum Ia pernah melihat Sarah susah gara-gara cowok atau sedih karena masalah kuliahnya. Sarah tak pernah tampak memiliki masalah. Jika ia bukan seseorang yang benar-benar bebas dari masalah pastilah ia orang yang sangat pintar menyembunyikan perasaannya.
Caca yang tiba-tiba jadi bersemangat melompat ke tengah-tengah kedua sahabatnya. “Lagi pada ngobrolin apaan nih?” tanyanya.
“Dari tadi kamu di rumah Ca?” tanya Febi tak menjawab pertanyaan Caca.
“Gimana perburuan kamu tadi siang Ca? Jadi?” tanya Sarah pula.
Caca menjawab pertanyaan keduanya dengan sebuah anggukan. Ia baru akan cerita ketika Febi bertanya lagi, “Perburuan apa kak? Kok Febi gak tahu? Kalian punya rahasia ya?”
“Nggak Feb,” jawab Caca, “ini tentang Bang Farhan lho!”
“Oh, belum selesai-selesai juga? Lama juga ya!” ujar Febi setengah mengejek.
“Emang kamu pikir tiga hari cukup untuk ngajak anak masjid kayak Bang Farhan candle light?” kata Caca membela diri.
“Iya, udah, udah...” kata Sarah melerai keduanya. “Jadi gimana tadi siang? Ada kemajuan gak?”
Caca menggeleng. Ia menceritakan bagaimana usahanya membuat Farhan terpesona berakhir dengan kegagalan. Ia juga menjelaskan betapa mustahilnya Farhan untuk dibuat terpesona.
“Kayaknya Bang Farhan emang gak bisa digoda deh kak,” adu Caca pada Sarah.
“Kalian berdua sama aja ya! Berapa kali sih harus kakak jelasin? Semua laki-laki itu sama.”
“OK! OK! Aku paham kak tapi buat apa aku capek-capek godain dia? Febi juga gak ngasi apa-apa kalau aku berhasil.”
“Kamu mau taruhan?” tanya Febi. “Kalau kamu bisa dapatin Bang Farhan, aku bakal kerjain semua tugas kuliah kamu selama satu tahun. Tapi kalau kamu gagal, kamu harus ngerjain semua tugasku, satu semester aja. Gimana?”
“Kamu yakin? Aku gak bakal kalah lho Feb. Aku gak pernah kalah,” tanya Caca memastikan.
“Jadi kenapa kamu takut?” tantang Febi.
“Siapa takut! Deal?” Caca mengajukan tangannya lebih dulu.
Sejenak Febi terdiam memikirkan sebanyak apa tugas yang harus Caca kerjakan nanti dan ia segera mengulurkan tangannya, “Deal!” jawab Febi mantap.
“Nah! Sekarang kamu udah punya alasan. Jadi tunggu apa lagi?” tanya Sarah.
Caca mengangguk. Ia tidak tahu seberapa besar taruhan yang ia lakukan sore itu akan berakibat. Ia hanya tahu kalau sekarang ia tak punya alasan untuk mundur. Setelah obrolan mereka selesai, Caca kembali ke kamarnya dan memikirkan sebuah cara lain dan ia yakin yang satu ini pasti akan berhasil.
Lanjut ke Bagian 10 - Tak Terkalahkan
Bagikan via:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar