4 - Tunggu Saja

Kamis, 13 Juni 2013

Wangi kemiri dan lidah buaya mengharumkan seluruh sudut kamar Caca. Sambil mengeringkan rambutnya yang baru dikeramas, Caca mengingat-ingat pertemuan pertamanya dengan Farhan di kampus tadi. Dia tertawa sendiri mengingat bagaimana raut wajah Farhan saat ia mengedipkan mata.


Malam itu seperti biasa Caca duduk di teras. Di sana ia memandangi sebuah lampu taman yang tampak cantik menerangi halaman kos-kosan mereka. Menurut Caca, lampu taman itu tampak serasi sekali dengan pohon akasia kecil yang ada di dekatnya. Selain karena ketiadaan ibu kos yang tinggal di sana, mungkin lampu taman dan pohon kecil itulah alasan mengapa kelima kamar di kos-kosan itu hampir tak pernah kosong.

Caca masih memandangi lampu itu ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Caca menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah membuyarkan lamunannya. “Eh, Kak Bila!”

Bila adalah mahasiswi semester tujuh jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sejak tiga bulan lalu bergabung dengan Sarah, Caca dan Febi tinggal di kos-kosan ini. Selain kacamata dan jilbab besar yang selalu ia kenakan, satu hal lain yang membuat Bila semakin mudah dikenali adalah wajahnya yang mirip dengan salah satu aktris Jepang ternama.

“Sendiri aja Ca?” tanya Bila sebelum ia duduk di samping Caca.

“Iya nih kak. Febi sama Kak Sarah belum pulang. Yang di tangan kakak itu apa kak?”

Aroma pisang goreng yang ditaburi keju masuk ke indera penciuman Caca dan menjawab pertanyaannya sebelum sang koki sempat berkata-kata. Bila meletakkan satu piring berisi penuh dengan pisang goreng keju buatannya di atas meja dekat bangku taman itu. “Kakak baru belajar bikin pisang goreng. Ayo cobain Ca!”

Caca yang memang sedang agak lapar langsung berseru, “Ayo!” Mereka pun mulai menyantap cemilan malam buatan Bila.

Sambil terus mengunyah, Caca memperhatikan Bila yang juga sedang asyik dengan gorengannya sendiri. Caca tidak tahu mengapa Sarah langsung tidak menyukai Bila saat ia pertama kali melihatnya. Di mata Caca, Bila terlihat seperti gadis baik yang sangat santun.

Jika saja Sarah tidak melarangnya, sebenarnya Caca ingin sekali berteman dengan Bila. Tapi lebih dari apapun, Caca tidak ingin ada perselisihan. Itulah mengapa sampai hari ini ia terus menjaga jarak dan memilih untuk membiarkan Bila sendiri.

Caca mengambil potongan pisang goreng ketiganya dan bertanya, “kenapa di dalam rumah kakak tetap pakai jilbab kak?”

Si kakak menjawab, “Ini kan halaman dek. Kamu bisa lihat celah di pagar itu kan?” Caca mengangguk dan Bila meneruskan. “Kalau ntar ada yang ngintip dari situ gimana?”

Bila adalah seorang gadis yang taat dengan aturan agama. Ia tidak peduli jika jilbab besarnya itu akan menutup dirinya dari dunia. Ia jauh lebih takut jika keterbukaannya memberi jalan masuk bagi keburukan.

Caca yang tak pernah memikirkan soal itu melempem. “Oh,” jawabnya. Mungkin ketaatan yang dianggap super itulah yang membuat Sarah dan Febi tidak merasa nyaman berada di dekatnya. Mereka yang lebih nyaman saat tampil cantik agak susah untuk nyambung dengan Bila yang berlaku sebaliknya.

Sebenarnya Caca juga merasa agak kurang nyaman dengan pendapat-pendapat Bila tapi ada yang membuatnya penasaran dengan perempuan itu. Itu sebabnya ia bertahan dan pura-pura setuju dengan semua yang Bila katakan..

“Besok temenin kakak ke Book Fair yuk Ca!” ajak Bila.

Jika ditanya sebenarnya Caca lebih suka kata bazar ketimbang Book Fair. Di Book Fair hanya ada buku sementara di bazar ada baju, tas dan mungkin sepatu. Walau tak terlalu bersemangat ia bertanya, “Dimana kak?”

“Di depan auditorium kampus. Acaranya tiga hari dari Rabu nanti.”

“Hmm. Caca pikir dulu deh,” jawab Caca diplomatis.

“Caca lagi mikirin apa sih?” Bila mencondongkan badannya. “Pasti tentang cowok ya?”

“Ih kakak sok tau... Orang lagi mikirin tugas kok kak,” jawab Caca ngeles.

“Biar begini-begini, kakak juga suka cerita cowok kali dek.”

“Serius kak? Aku kira kakak taunya ngaji aja.” Caca mencoba sebuah lawakan untuk mencairkan suasana. “Emang kakak punya cowok kak?”

“Cowok sih nggak, tapi yang kakak suka ya ada.”

“Ciieeee.... Cerita dong kak! Orangnya kayak gimana?”

“Dia baik, selalu shalat tepat waktu dan kayaknya belum pernah pacaran.” Bila melahap pisangnya sepotong lalu lanjut lagi. “Pokoknya bisalah jadi imam.”

“Semester berapa kak? Emang kakak ketemu dia dimana?”

“Kakak gak tahu semesternya. Ketemunya pas perayaan maulid kemarin,” jawab Bila santai. Ia tak memperhatikan perubahan wajah Caca saat mengatakannya.

“Dia tahu kakak suka sama dia?” tanya Caca lebih jauh.

“Nggak tahu. eh maksudnya, kakak gak tahu dia tahu apa nggak.”

Caca berhenti mengunyah dan bertanya lagi, “Terus kapan rencana kakak ngasi tahu perasaan kakak ke dia?”

“Nggak ada rencana buat ngasi tau dek. Kakak takut ntar menjurus kemana-mana."

“Terus ketemunya gimana dong?”

“Ya tunggu aja,” jawab Bila santai. “Tunggu aja sampai dia datang sendiri. Kalau jodoh gak akan lari kemana kan?”

Caca terheran-heran sendiri dengan kakak kosnya yang satu ini. Ia belum sempat mengutarakan pendapatnya waktu tiba-tiba suatu bau tercium dari arah dapur, “Kakak ngerasa ada bau gosong gak?”

“Oh iya!! Pisang goreng kakak!” Bila langsung menghambur ke dapur.

Bila baru masuk saat sebuah sedan putih berhenti di depan pagar. Caca yang sudah hapal mobil mana yang biasa mengantar teman-teman satu kosnya pulang tersenyum. Akhirnya kakak kesayanganku pulang.

Lanjut ke Bagian 5 - Dalam Pencarian
Bagikan via:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar