2 - Yang Bikin Penasaran

Kamis, 13 Juni 2013

Di tengah ruang perpustakaan yang luas dan besar, seorang laki-laki tampak sedang tenggelam dalam buku bacaannya. Ia benar-benar tidak bergerak kecuali untuk sedikit mengangguk dan membalik halaman bukunya. Siapapun yang melihatnya pasti mengira buku itu sangat seru.


Laki-laki itu adalah sepupuku, namanya Farhan. Jika dilihat dari jauh Farhan akan tampak mirip seorang aktor India. Perawakannya yang tinggi dan besar membuatnya sangat mudah untuk dikenali.

Farhan adalah satu-satunya mahasiswa semester sembilan yang saat itu bisa kalian temui di jurusan Pendidikan Fisika. Sebenarnya ia tidak memiliki mata kuliah apapun yang harus diulang semester itu. Jika mau, ia bisa saja wisuda dengan teman-temannya empat bulan sebelumnya tapi Farhan memilih untuk bertahan satu semester lagi.

Sebagai ketua Lembaga Dakwah Kampus, Farhan merasa bertanggung jawab untuk memastikan semua program yang ia rencanakan di awal berjalan dengan baik. Itu sebabnya ia menolak tawaran adik-adik organisasi untuk melanjutkan kepemimpinan dan menunda wisudanya satu tahun lagi.

Karena pernah tinggal bersama, aku mengenal Farhan sebaik aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu di masjid mana ia biasa mengaji. Aku tahu tidak ada yang lebih mengesalkan bagi Farhan selain televisi. Aku pun tahu ayat apa yang setiap hari ia bawa dalam shalatnya. Itu sebabnya aku tahu kalau laki-laki seperti ini tidak akan mudah tergoda.


***


Dari balik sebuah rak buku Caca menatap laki-laki yang kata Febi tidak tertaklukkan itu. Sulit bagi Caca yang selalu dikejar laki-laki untuk membayangkan ada beberapa laki-laki di dunia ini yang tidak bisa digoda sama sekali. Ia tidak begitu yakin laki-laki yang satu ini akan berbeda dan ia akan membuktikannya.

Caca mencari sebuah siasat untuk mendapatkan perhatian si laki-laki dan segera saja ia teringat pada hukum persamaan.

Orang akan cenderung lebih mudah menyukai orang yang lebih banyak memiliki kesamaan dengannya.

Caca memperhatikan cara si laki-laki membaca kemudian menyimpulkan kalau ia adalah seorang kutu buku. “Kalaudia benar seorang kutu buku berarti aku harus kelihatan seperti kutu buku juga,” gumamnya. Caca memang bukan kutu buku tapi jika harus bergaya seperti itu ia tidak akan kalah dengan kutu buku manapun. Sambil mengatur posisi poni rambutnya agar terkesan culun dan tidak gaul sama sekali, Caca mengambil sebuah buku dari rak terdekat kemudian berjalan mendekati meja tempat laki-laki itu membaca.

Dari sisi lain perpustakaan, Febi memperhatikan tingkah laku temannya yang kini terlihat seperti kutu buku yang benar-benar manis. Ia senyum-senyum sendiri melihat Caca benar-benar total dalam aksinya.

“Permisi, kursi ini kosong nggak?” tanya Caca sambil menunjuk sebuah kursi. “Aku duduk di sini ya.”

Tidak ada jawaban. Caca berharap laki-laki itu mengangkat kepalanya sebentar, menoleh lalu melihat senyum manisnya, tapi tidak. Ia hanya mengangguk sedikit sedangkan matanya tidak beralih dari buku sama sekali. Sepertinya buku itu terlalu seru untuk dilewatkan.

Wajah Caca sedikit cemberut mendapat tanggapan seperti itu. Kehadirannya tidak menganggu konsentrasi membaca laki-laki itu sama sekali, setidaknya belum.

Caca segera punya cara lain. Ia menyeret kursinya mundur hingga terdengar deritan besi yang cukup panjang. Deritan itu cukup keras untuk mengganggu beberapa pengunjung di sekitar. Beberapa orang menoleh karena bunyi berisik yang ia timbulkan. Usaha Caca tak sia-sia karena laki-laki itu juga menoleh segera saja ia melemparkan jurus keduanya.

Senyum manis yang tulus.

Sambil melemparkan senyum yang seolah berkata maaf pada laki-laki yang kini agak kesal itu, Caca memperhatikan wajah tantangan barunya. Ternyata laki-laki itu cukup tampan, sama sekali jauh dari kesan kutu buku seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Kulitnya yang kecoklatan bersih dan mulus. Hidung yang mancung terlihat mantap di wajahnya yang memanjang. Sorot matanya dalam sedangkan alisnya hitam dan sedikit tebal. Jika bukan karena jenggot tipis yang membuatnya kelihatan alim, laki-laki ini pasti dikejar-kejar perempuan.

Laki-laki itu masih menatap Caca, tepat di matanya, tapi tidak bicara apa-apa. Ia menatap Caca dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak sama sekali. Caca yang tidak tahu harus bagaimana tiba-tiba merasa wajahnya menjadi kaku.

Berpura-pura tidak salah tingkah, Caca memalingkan wajahnya ke arah lain dan segera duduk membaca buku yang diambilnya tadi. Laki-laki itu pun kembali pada bacaannya.

Sesaat kemudian barulah Caca menyadari kegugupannya barusan dan terheran-heran dengan tingkahnya sendiri. Aneh! Kenapa aku yang malah deg-degan. Harusnya serangan yang tadi itu cukup ampuh. Tak pernah ada laki-laki yang tahan untuk tidak membalas senyumannya.

Senyuman serupa pernah Caca lempar pada mantannya dua bulan sebelumnya dan itu berhasil dengan sangat sempurna tapi sepertinya yang satu ini tidak terpengaruh. Laki-laki itu hanya kembali pada bukunya dan melanjutkan membaca.

Dari kejauhan, Febi tampak memberi isyarat kalau ia akan pergi. Ditinggal oleh temannya, membuat Caca ingin cepat-cepat mengakhiri ini tapi bukan Caca namanya jika ia menyerah begitu saja. Caca yang tidak pernah ditolak sebelumnya akan membuktikan tidak seorang pun akan sanggup bertahan jika ia yang menggoda. Sekali lagi Caca memutar otak mencari cara dan segera saja sebuah hukum lain berlabuh di kepalanya.

Antusiasme dan ketertarikan itu menular.

Seperti mendapat ilham, Caca langsung berhenti pura-pura membaca buku lalu mengalihkan perhatiannya pada beberapa buku yang dikumpulkan dan ditumpuk laki-laki itu di dekatnya. Setelah memasang wajah penasaran yang menggemaskan ia bertanya,

“Ini buku abang?” tanyanya sambil mengambil sebuah buku dari tumpukan itu. “Caca boleh pinjam sebentar ya bang!” lanjutnya sambil secara halus memberitahu laki-laki itu namanya.

Laki-laki itu menoleh dan melihat buku berjudul Kado Pernikahan yang sudah susah payah ia cari sekarang ada di tangan Caca. “Jangan! Abang mau pinjam buku itu nanti. Kamu cari aja lagi di rak!” kata laki-laki itu terpaksa bicara.

“Tapi Caca gak tahu dimana bang, yang ini aja ya! Sebentar aja kok. Ini untuk tugas Caca bang.”

Wajahnya tidak terlihat begitu senang tapi laki-laki ini tahu Caca akan terus mengganggunya jika tidak dipinjamkan jadi ia tidak berkata apa-apa dan hanya berusaha kembali fokus membaca.

Caca yang masih belum berhasil mendapatkan nama laki-laki itu membolak-balik halaman buku yang baru ia pinjam sebentar kemudian kembali mengganggunya, “Buat apa abang baca buku kayak gini? Emang abang mau nikah ya?”

Laki-laki itu berusaha cukup keras untuk tidak menghiraukan Caca tapi pertanyaan terakhir benar-benar membuatnya geram. “Kamu mau tahu aja sih,” katanya terusik.

“Abang harus kasih tahu dulu kenapa abang perlu pinjam buku ini. Kalau gak Caca yang pinjam.”

Laki-laki itu menyesal membiarkan Caca mengambil bukunya. Ia pun berhenti membaca dan memutar badannya. “Abang perlu karena abang mau baca. Sekarang balikin!”

“Berarti urusan Caca lebih penting! Caca perlu untuk bikin tugas,” tukas Caca sambil menarik buku itu lebih dekat ke sisinya.

“Eh gak bisa begitu dong!” sergah Farhan.

Beberapa petugas perpustakaan memperhatikan mereka tapi Caca yang sudah biasa diperhatikan seperti itu justru malah senang, “Ntar kalau Caca udah selesai, Caca bakal kasih ke abang,” kata Caca beranjak pergi.

Laki-laki itu ingin menahan Caca tapi ia sadar tak boleh memegang tangan perempuan itu. “Tunggu!”

Lanjut ke Bagian 3 - Muslihat Cantik
Bagikan via:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar